Yogyakarta, April 1999
"Saya mau ke kota, Pak. Pengen jadi orang sukses."
"Owalah kamu, Nak. Mbok mimpi jangan ketinggian. Sudah, kamu urusin aja si Parjo dengan baik biar bisa kuat membajak sawah kita. Sebentar lagi sudah mau musim panen, tho?"
"Tapi, Pak..."
"Ndak ada tapi-tapian. Kamu itu orang desa, Nduk. Jangan terlalu banyak bermimpi."
Bapak meneguk teh yang baru saja saya buatkan.
"Urusin saja si Parjo. Hanya dia satu-satunya sumber penghasilan keluarga kita."
"Bukannya kalo Marni ke kota, Marni juga bisa dapat uang, Pak. Bahkan mungkin lebih banyak dari penghasilan kita sekarang, jadi bapak ndak perlu banting tulang seperti sekarang."
"Kamu itu cuma tamat SMA, Nduk. Mau kerja apa kamu disana?"
"Apa saja, Pak, yang penting halal."
"Ndak. Pokok e bapak ndak ngijinin. Bapak ndak mau nasibmu seperti si Inah. Pulang-pulang ternyata hamil dan ndak punya suami."
"Marni bisa jaga diri kok, Pak. Marni sudah dewasa."
"Nduk, bapak ini sudah tua. Kalau kamu merantau ke kota, siapa yang mengurusi bapak? Ibumu sudah ndak ada lagi."
"Enggeh, Pak. Marni nurut."
Jakarta, 12 April 2008
08.00 am...
Hari Minggu...
Sebuah hari kebebasan untuk saya. Tidak ada deadline. Tidak ada staf yang cerewet dan banyak bertanya tentang pekerjaan. Tidak ada kemacetan. Tidak ada kerjaan menumpuk. Tidak ada klien yang komplain. Dan yang paling penting, saya tidak perlu bertemu dengan Scott, si bule reseh dan sok ganteng.
Hari ini saya cukup berdiam dan memanjakan diri dirumah. Rasanya sudah lama sekali saya tidak menikmati kesendirian di apartemen ini. Sudah lama sekali saya tidak melakukan kebiasaan lama saya, berendam berlama-lama di bathub sambil menghirup aroma therapy lavender favorit saya sambil mendengarkan suara lembut milik Diana Ross yang CD-nya baru saya beli tadi malam.
Selama ini saya hanya disibukkan dengan rutinitas yang monoton. Apartemen, jalanan macet, dan kantor. Entah sudah berapa lama saya tidak menginjakkan kaki ke Mall dan berbelanja yang sudah menjadi hobi saya.
Semenjak...
Ah, sudahlah. Saya tidak perlu mengingat peristiwa itu.
Kringgg.... Kringgg...
Damn!!!
Saya lupa mematikan telepon genggam saya. Dan ketika telepon genggam sudah berdering, saya pantang membiarkannya bernyanyi begitu saja. Rasanya pamali.
Nomor yang tidak saya kenal.
"Hallo..."
"Assalamualaikum. Dengan Mbak Marni?"
"Waalaikumsalam. Benar, saya sendiri. Ini siapa, ya?"
"Ini dari kampung, Mbak. Dari rumah Pak Lurah."
(Pak Lurah...??)
"I... iya. Ada apa, Pak."
"Begini mbak Marni. Saya cuma ingin mengabarkan kalau Pak Basri sakit. Sekarang beliau ada dirumah sakit."
"Oh begitu..."
"Kami benar-benar mohon Mbak Marni untuk segera pulang. Pak Basri sangat membutuhkan Mbak Marni."
"Saya sedang banyak pekerjaan, Pak. Mungkin nanti jika ada waktu luang saya akan menghubungi bapak kembali."
"Tapi, Mbak... Kata Dokter..."
"Maaf Pak Lurah, sekarang saya sedang sangat sibuk dan benar-benar tidak ada waktu untuk mengunjungi bapak."
"Baiklah kalau begitu Mbak Marni, terima kasih sudah mau menerima telepon saya. Dan jika Mbak Marni sudah berkenan untuk menjenguk Pak Basri, segera hubungi saya.
"Baiklah."
"Assalamualaikum."
Saya tidak menjawab lagi.
Ingatan saya kembali kepada seorang lelaki tua dengan rambut beruban dan kulit keriput. Tubuhnya renta dimakan usia. Matanya yang dulu berbinar, perlahan redup. Saya jadi ingat ketika pertama kali bisa naik sepeda tanpa bantuan roda. Saya berteriak riang sekali, ingin menunjukkan kepada bapak bahwa saya tidak lagi perlu dibonceng dibelakang sepeda ontelnya. Saya sudah bisa mengendarai sepeda sendiri jika akan menemani bapak bekerja di sawah.
Ketika itu bapak tersenyum tipis, tapi saya tahu di dalam hatinya beliau bangga. Gadis kecilnya sekarang sudah beranjak dewasa. Begitulah sifat bapak. Jangan harap akan dipuji jika berhasil melakukan sesuatu. Jangankan berhasil naik sepeda, seringnya saya mendapat peringkat pertama di kelas pun tidak akan membuatnya memberikan hadiah kepada saya. Saya tidak mengharapkan materi. Saya hanya ingin mendengar pujian dari mulutnya. Tapi hal itu sama sekali tidak pernah dia berikan.
Mengingat bapak kembali membuat hati saya teriris. Sudah lama sekali saya tidak menjumpai orang tua saya satu-satunya itu. Hari lebaran pun saya habiskan dengan kesendirian di kota Jakarta yang begitu megah ini. Tidak ada sahabat atau kerabat.
Hanya apartemen ini yang menemani saya.
Ah...
Sudahlah. Saya tidak perlu bersedih. Bukankah ini sudah menjadi pilihan hidup saya ketika diusir dari rumah oleh bapak? Saya tidak perlu meyesalinya dan saya juga tidak perlu membuka luka lama, apalagi menyiraminya dengan air garam. Hari ini saya ingin menikmati hari libur dan kesendirian saya.
02.00 pm, Starbucks Coffee...
Dihadapan saya terdapat segelas vanilla latte dilengkapi dengan whipped cream dan taburan coklat swiss asli. Sebenarnya saya harus berpikir ribuan kali untuk menyantap minuman ini. Kalau Mas Nico, personal trainer saya tahu saya melakukan pelanggaran atas diet yang sedang saya jalani, pasti dia akan berkicau tiada henti. Tapi sudahlah... Tidak perlu dipikirkan. Toh cuma segelas kecil dan saya tidak setiap hari menikmatinya. Nanti saya akan membalasnya dengan berlari di treadmill selama satu jam penuh tanpa henti.
Ramai sekali Cafe ini. Hanya teori saja yang mengatakan Indonesia sedang berada dalam krisis, tapi pada kenyataannya masih sangat banyak orang yang menghambur-hamburkan uangnya dengan sesuatu yang tidak berguna, seperti belanja mobil mewah, berjudi di kasino, dan bla bla bla. Mungkin uangnya tidak akan habis hingga tujuh turunan.
"Excuse me, Miss. Ada orang disini, nggak?" tanya seseorang dari arah belakang.
Saya membalikkan badan ke arah orang itu.
"Sedang sibuk, Mar?"
Mata saya terbelalak melihat orang yang sekarang berada tepat di depan saya.
"Ah, enggak. Cuma saya sedang menikmati hari libur ini. Sebenarnya saya sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun."
"Juga oleh saya, idola kamu sendiri?"
Saya mencibir.
Orang di depan saya ini memang tidak pernah berubah. Sudah lima tahun saya mengenalnya. Over PD-nya tidak pernah berkurang. Malahan semakin bertambah. Apalagi dia sering overacting kepada siapa pun. Mungkin ia merasa ganteng karena terlahir sebagai orang Italia yang terkenal dengan ketampanannya.
Tanpa ba-bi-bu si bule ini langsung mengambil posisi duduk di kursi tepat di sebelah saya.
Langsung saja saya menunjukkan sikap tidak suka.
"Hari ini indah, ya, Mar?"
Saya tidak menjawab. Biar saja dia tahu kehadirannya disini telah membuat mood saya berubah 180 derajat.
"Wah, sepertinya kamu kelihatan fresh sekali hari ini. You're look so beautiful."
"Scott, saya ingin sendiri. Bisa tolong tinggalkan saya."
"Marina, tidak baik wanita cantik seperti kamu sendirian di sini. Nanti ada orang jahil yang mengganggu."
"Memang.And It's you."
Sepertinya orang ini memang sudah putus urat malunya. Padahal saya sudah jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaan saya terhadapnya.
"Oh, kamu masih seperti dulu rupanya. Very sensitif and emotional."
"Yes, it's me."
"Oke, saya disini bukan untuk berdebat dengan kamu. Saya lebih ingin mengenal kamu, mumpung hanya berdua saja dan tidak disibukkan dengan perkerjaan."
"Saya sedang tidak ingin mengobrol."
"Common, jangan jadi orang yang terlalu blak-blakan, Mar. Orang lain bisa tersinggung dan menganggapmu orang yang terlahir dengan banyak sekali masalah."
"Dan masalah itu datang karena kamu. Sebelum kamu hadir disini, sama sekali tidak ada masalah yang terjadi. Hidup saya damai sebelum kamu datang."
Scoot mengambil cangkir capucinno dan menenguknya. Sepertinya ia sangat menikmati sekali.
"Marina, listen to me." Scott mengubah posisi duduknya, "Kamu terlalu blak-blakan dan itu tidak bagus untuk dirimu sendiri juga orang lain yang mendengarkannya."
"Itu memang diri saya dan saya tidak perlu berubah karena siapa pun. Jika ada orang yang tidak suka, silahkan pergi."
"Marina, kamu tidak hidup sendiri. Kamu juga membutuhkan orang lain untuk ada di samping kamu. Seseorang untuk berbagi. Bukankah Tuhan menciptakan manusia itu untuk hidup bersosialisasi dan berpasangan."
"I know, Scott. Jangan menceramahi saya. Saya sudah cukup dewasa untuk mendengar ceramahmu yang sok pintar."
"Saya tidak menceramahi kamu. I care with you. You are so special for me."
Duggg... Duggg... Jantung saya berdetak lebih kencang dari biasanya.
Sebagai wanita normal tentu saja saya tersanjung mendengar kata-kata Scott. Bayangkan saja seorang lelaki gagah dan tampan berbicara seperti itu di depan anda dengan wajah yang sangat serius.
"Terima kasih atas perhatianmu, Scott. But i don't need it."
"Itulah kamu, Mar. Tidak ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kamu juga membutuhkan mereka."
"Contohnya?"
"Dalam hal cinta. Saya tahu jika kamu juga merasakan apa yang saya rasakan sekarang."
"What do you mean?"
"Simple. LOVE..."
Saya terdiam. Saya tidak ingin membantah kata-katanya yang ini.
"Saya tahu kamu adalah orang yang jujur, Mar. Jadi katakan yang sebenarnya."
"Tidak. Dan tidak akan pernah. Isi hati saya hanya saya yang boleh mengetahui. Tidak kamu ataupun orang lain. Especially you, "
Hening.
Di dalam lubuk hati saya, sebernarnya saya sedang memikirkan perkataan laki-laki ini. Memang setelah kejadian pada hari itu saya lebih memilih menjadi orang yang mandiri. Menjadi orang yang tidak membutuhkan orang lain dalam hidup saya. Keberhasilan yang saya raih sekarang, juga bukan karena bantuan siapapun. Semuanya atas usaha saya sendiri. Dan saya akui, itu membuat saya menjadi orang yang berego tinggi.
"Marina..."
"Yes?"
"Semenjak kecil, kita membutuhkan orang tua untuk melahirkan dan membesarkan. Coba bayangkan jika dulu ketika sedang mengandung ibu kita lebih memilih untuk membiarkan kita tidak dilahirkan."
Saya terdiam.
Scott kembali meneguk capucinno-nya yang tinggal setengah gelas.
"Atau ketika sudah lahir ke dunia, ayah kita sama sekali tidak menafkahi dan memberi kita kasih sayang. Apa yang akan terjadi?"
Saya kembali terdiam.
Saya ingat kedua orang tua saya.
Saya ingat bapak.
Beliau sedang sakit.
Tapi seketika itu juga keegoisan saya kembali menguasai.
"Saya mendapatkan ini semua karena usaha saya sendiri, Scott. Saya harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan kehidupan layak seperti sekarang ini. Kamu juga tahu ketika awalnya saya hanya menjadi pesuruh manajer. Membuat laporan ini itu, siang malam dan yang mendapat nama hanya manajer saya."
"Itu semua proses, Marina. Kita menjadi dewasa juga karena proses."
Scott benar.
100% benar.
"Bapak saya sedang sakit, Scott." Tiba-tiba saja pernyataan itu keluar dari mulut saya tanpa saya sadari. Selama ini saya sama sekali tidak pernah menceritakan tentang masalah saya kepada siapa pun. Semuanya saya simpan sendiri. Hingga masalah itu selesai, tidak ada yang tahu..
Saya terbiasa melakukan semua pekerjaan sendiri, tanpa orang lain.
"So?"
"Apa yang harus saya lakukan?"
"Kamu lucu, Marina. Tentu saja kamu harus menjenguknya."
"Haruskan?"
"Of course. Sebelum semua terlambat. Penyesalan akan datang di akhir, Marina."
Saya rindu bapak.
"Bisakah besok saya mengambil cuti? Tiga hari saja."
"Tentu saja bisa, Sweet heart. Kamu bisa cuti berapa lama pun yang kamu inginkan. Selama ini hasil kerjamu sudah sangat memuaskan untuk saja."
"Thank you, Scott. Kamu sangat baik."
"Sama-sama. Hari ini saya baru mendapatkan sesuatu yang sudah lama sekali saya inginkan. Kamu tahu apa itu, Marina?"
"Apa?"
"Senyum dan hatimu."
Scott tersenyum manis sekali.
Tangan kekarnya memeluk tubuh saya. Saya merasakan kedamaian. Lama sekali saya tidak merasakan perasaaan seperti sekarang. Dulu sekali saya merasakannya ketika dipeluk bapak.
"Kamu tahu harus menghubungi saya dimana jika membutuhkan saya." kata Scott sambil menggenggam tangan saya.
"Thank you so much, Scott."
Pertemuan kami hari ini membuat perubahan besar dalam hidup saya.
* * *
13 April 2008, Menuju Yogyakarta
"Apa? Kamu hamil, Nduk?"
"Enggeh, Pak."
"Dulu kamu sudah bapak larang untuk merantau ke Jakarta. Sekarang malah seperti ini jadinya. Nduk... Nduk... kamu membuat bapak malu dihadapan warga kampung. Dimana bapak harus naro' muka bapak ini, Nduk?"
Saya diam.
Terlihat melihat kemarahan di mata bapak.
"Siapa yang menghamili kamu, Nduk? Biar bapak lapor ke polisi."
"Jangan, Pak." Saya menarik lengan bapak.
"Percuma saja. Dia bukan orang sembarangan. Kita pasti akan kalah, Pak."
"Memangnya kenapa? Bapak tidak takut. Biarpun presiden sekalipun akan bapak lawan."
"Dia anak kepala polisi di Jakarta, Pak. Bos Marni di kantor."
Bapak terdiam.
"Lalu apa rencana kamu, Nduk?"
"Marni akan menggugurkan anak ini."
Plakk...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi saya. Sakit dan perih.
Tapi hati saya lebih perih. Seumur hidup saya belum pernah di tampar oleh bapak. Jangankan ditampar, berkata kasar pun tidak pernah bapak lakukan kepada saya.
Air mata menggenang di mata saya.
"Jangan tambah dosamu dengan membunuh darah dagingmu sendiri."
Bapak benar.
"Tapi bayi ini anak haram, Pak. Dia tidak punya ayah."
Kali ini sebuah tamparan kembali mendarat di pipi saya.
"Jangan berkata seperti itu. Bayi yang ada didalam kandunganmu tidak bersalah. Perbuatan kalianlah yang terkutuk. Bukan anakmu."
"Marni akan tetap menggugurkan kandungan ini."
Bapak terlihat sangat emosional. Belum pernah saya melihat bapak semarah ini.
"Baiklah jika kamu memilih jalan seperti itu. Jangan pernah injakkan kakimu lagi dirumah ini. Dan mulai saat ini bapak tidak punya anak lagi."
Saya menangis. Sungguh saya menerima semua ini. Mungkin ini karma dari dosa yang sudah saya perbuat.
"Baiklah, Pak. Marni tidak akan pernah membuat bapak malu lagi. Marni akan pergi jauh.
* * *
Peristiwa itulah yang membuat saya lebih memilih menggugurkan kandungan saya yang saat itu baru memasuki usia satu bulan. Saya tidak sanggup hidup dengan anak yang merupakan hasil perkosaan bos saya itu. Saya tidak ingin mempunyai keturunan dari orang yang sangat biadab.
Tristan adalah bos saya ketika saya bekerja sebagai kasir di sebuah mini market. Selama ini saya mengira Tristan adalah laki-laki yang baik. Setiap hari dia selalu membawakan saya nasi bungkus karena dia tahu bahwa saya selalu tidak sempat sarapan karena jarak kos dan mini market yang jauh. Sebagai kasir saya selalu di tuntut untuk datang paling pagi. Jika sedang ada waktu luang, Tristan selalu menyempatkan diri untuk mengantarkan saya pulang.
Lama kelamaan saya merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Karena kebaikan Tristan, saya bertekuk lutut dihadapannya. Namun ternyata Tristan tidak seperti yang saya bayangkan. Dia adalah seorang playboy sejati. Singkat kata saya hamil dan dia tidak mau bertanggung jawab.
Kejadian itu pula yang membuat saya merasa tidak membutuhkan laki-laki. Semenjak saya mengenal Tristan dan jatuh cinta, hidup saya hancur berantakan. Saya harus menemukan kembali kepingan itu dan menatanya dalam suatu bingkai kehidupan yang utuh.
Semenjak hari itu saya mengganti identitas diri. Marni Janifah saya ganti menjadi Marina Jennifer. Saya ingin mengubur segala kenangan yang ada tentang masa lalu saya. Saya ingin menjadi orang baru tanpa dibebani dengan kejadian yang sudah lewat. Kejadian yang sudah membuat saya terpuruk menjadi orang yang paling nista di dunia ini.
Teriakan supir bus membuyarkan lamunan saya. Ternyata saya sudah sampai di terminal bus yang saya tuju. Sebenarnya Scott menawarkan diri untuk mengantarkan saya menemui bapak, tapi saya menolak dengan alasan ini merupakan urusan pribadi saya. Scott memang lelaki yang baik.
Perjalanan saya untuk menemui bapak terasa lama sekali. Rasanya saya sudah tidak sabar lagi ingin bersimpuh di kakinya. Meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah saya perbuat kepada beliau selama ini.
Entah bagaimana keadaan bapak sekarang. Apakah penyakit sudah mengubah fisiknya sehingga terlihat lebih renta daripada dulu ketika terakhir saya bertemu dengannya?
Sesampainya didepan rumah, saya terkejut melihat begitu banyak orang berkumpul disana. Terdapat bendera berwarna kuning, pertanda adanya kematian.
Ah...
Saya menghapus pikiran negatif yang menggelayut di otak saya. Mungkin saya itu orang lain.
Seseorang menghampiri saya,
"Mbak Marni, ya?"
Saya mengangguk pelan.
"Saya Lurah di sini, Mbak." katanya sambil menjabat tangan saya.
Saya tersenyum simpul.
"Tadi saya sudah beberapa kali menghubungi telepon genggam Mbak Marni, tapi tidak aktif."
Lelaki kurus itu menghela nafas untuk beberapa saat, "Yang tabah ya, Mbak. Sepuluh menit yang lalu bapak sudah menghadap Allah."
Kaki saya terasa lemas.
Bapak...
Bapak...
Maafkan Marni, Pak.
Mata saya basah. Sudah lama sekali mata ini tidak basah karena menangisi orang tua yang sudah membesarkan saya itu. Beliau adalah single parent ketika ibu meninggal dunia ketika melahirkan saya.
Saya jadi ingat ketika bapak muda berusaha membuat kepangan rambut saya ketika saya akan mengikuti pawai 17 Agustusan.
Saya jadi ingat ketika bapak harus tidur larut malam ketika harus menjahit baju seragam sekolah saya yang sobek.
Saya jadi ingat ketika bapak pergi ke rumah Bang Yopi, seorang mahasiswa jurusan matematika ketika saya tidak mengerti tentang rumus phytagoras. Bapak hanya tamatan SD.
See? Begitu banyak pengorbanan yang telah bapak saya lakukan untuk membesarkan saya.
"Bapak sangat ingin bertemu dengan Mbak Marni, katanya beliau sudah kangen sekali."
Pak Lurah ikut menitikkan air mata.
"Semenjak Mbak Marni pergi, bapak tinggal sendirian. Tidak ada orang yang merawatnya ketika beliau sakit. Setiap hari bapak memandangi jalan itu," Pak RT menunjuk ke arah jalan raya yang berada tepat di depan rumah, "berharap Mbak Marni pulang."
Saya mengangguk pelan. Tidak ada kata-kata yang meluncur dari mulut saya. Mulut saya terasa terkunci. Kuncinya hilang bersama perginya jiwa bapak dari raganya.
Tak berapa lama Pak Lurah memohon izin untuk menyiapkan pemakaman bapak. Saya hanya bisa menangis menyesali ini semua.
Andai saja saya lebih cepat datang lima belas menit saja, pasti saya bisa bertemu dengan bapak dan meminta maaf secara langsung. Saya ingin memeluk bapak.
Andai saja dulu saya tidak memilih pergi dari rumah, mungkin sekarang bapak bisa menikmati masa tuanya dan tidak merana sendirian.
Saya tahu apa yang harus saya lakukan.
Mengambil telepon genggam dan menelepon seseorang.
Saya tidak ingin kehilangan seseorang yang sangat saya cintai untuk kedua kalinya.
Orang itu,
Scott.